Malam ini seperti
malam-malam bodohku yang lainnya. Mengurung diri di kamar. Makan di kamar.
Belajar di kamar. Tidak berbicara. Bahkan jika memang memungkinkan aku hanya
mengangguk dan menggeleng untuk berkata iya atau tidak. Beberapa lagu sempat
aku putar. Sebenarnya lagu-lagu itu sudah terlalu sering kudengarkan. Bahkan
aku sampai hapal dengan beberapa bagian liriknya.
Hambar. Semuanya belakangan
ini memang terasa begitu. Setelah semua yang kulalui beberapa bulan terakhir
ini, memang perlahan membawaku pada titik dimana aku tidak terlalu bisa
merasakan apa-apa. Bahkan hal itu juga sering kali membuatku berdiri di posisi
tidak peduli pada apapun. Aku tidak peduli pada agamaku sendiri. Aku tidak
peduli pada diriku sendiri. Aku tidak peduli pada keluargaku. Aku tidak peduli
pada sahabat dan teman-temanku. Aku juga tidak peduli pada orang yang kusukai
sekalipun. Semua rasanya dimataku jadi gelap. Dan hal itu adalah posisi paling
berbahaya dalam hidupku. Saat aku tidak mempedulikan apapun, otomatis aku pun
tidak mempedulikan masa depanku. TIDAK! Itu tidak boleh terjadi. Aku harus
bangkit.
Tapi bagaimana
caranya? Aku limbung. Entah karena apa.
Apa mungkin karena aku pernah dipukul mundur berkali-kali oleh obsesi gilaku
sendiri? Entahlah. Yang jelas, yang masih sangat kuingat dalam ingatanku. Aku
pernah merasakan hari dimana udara terasa menyesakan. Semakin kuhirup semakin
aku merasa sulit bernafas. Aku pernah merasakan bahwa pisau adalah mainan
terbaikku. Bisa menusuk apapun yang ku mau. Aku pernah merasakan tidur yang
tidak nyenyak selama berbulan-bulan. Bermimpi buruk.
Kadang aku bermimpi
kembali ke masa lalu, lalu aku melihat semua kesalahanku. Ingin sekali rasanya
aku memperbaiki semua kesalahan itu.
Di lain hari, aku juga
bermimpi, bahwa aku sedang berkumpul bersama sahabat-sahabatku, tapi aku merasa
ada satu orang yang hilang. Aku tidak tahu itu siapa. Aku terus menghitung dan
mengulang dari awal sampai berkali-kali, masih tak kutemukan juga. Paginya aku
terus memikirkan mimpi itu. Mungkin sebenarnya aku tahu siapa yang kucari di
mimpi itu, dia adalah sosok yang belum lama hilang dan kini memusuhiku. SESAK. Lagi-lagi
itu yang aku rasakan.
Atau, ada satu mimpi
lagi yang paling aku benci dibandingkan dengan mimpi-mimpiku yang lainnya. Itu
adalah sebuah mimpi yang sebenarnya mimpi indah tapi akan berubah saat aku
terbangun. Contohnya saja, waktu itu, sekitar seminggu yang lalu, aku bermimpi
bahwa kelasku dan kelas samping sedang mengikuti bimbingan pelajaran bersama. Sebenarnya
mimpi ini bisa jadi biasa-biasa saja, tapi bukan itu yang terjadi. Di mimpi itu
aku terlihat sangat akrab dengan seorang teman lama. Ya, teman lama. Kenapa aku
menyebutnya begitu? Itu karena memang, kami mungkin sekarang sudah tidak
berteman lagi. Jika ditanya mengapa hubungan pertemanan kami jadi begitu,
jawabannya cuman satu. Karena kami putus. Ya, kami memang sempat punya hubungan
lebih dari teman, tapi sekarang tidak lagi. Kami putus dengan pertengkaran. Dia,
seseorang yang kusebut teman lamaku itu, menyukai orang lain. Seseorang yang
lebih sempurna tentunya. Dan nasibku, hahaha, semuanya berubah menjadi lucu.
Agak menjijikan ya
membaca curhatan tentang hal semacam ini? Jika iya, sebenarnya itu wajar saja. Apa
lagi dengan semua ungkapan tadi aku terlihat sangat masih berharap ya? Benarkah
itu? Aku juga tak tahu.
—Kembali ke mimpi tadi—
Ya, di mimpi itu aku terlihat sangat tanpa beban. Bercanda dan mengobrol dengan
lepasnya. Bukan hanya itu, banyak sosok di kehidupan nyata yang aku harapkan baik
padaku juga baik dimimpiku ini. Benar-benar menyenangkan ada di mimpi itu. Tapi,
seperti yang aku bilang tadi. Saat aku terbangun, lain lagi ceritanya. Yang ada
cuman rasa menyesal. Kenapa aku harus bangun dari mimpi itu? Kenapa mimpi lebih
baik dari hidupku yang sekarang? Kenapa itu hanya mimpi? Lagi-lagi aku juga
tidak tahu.
Miris. Ya, kata itu
memang cocok digunakan untuk menggambarkan semuanya. Setelah fase dimana hidup
sangat menyesakkan itu berlalu, yaa… di sinilah aku sekarang. Di fase baru yang
aku sendiri tak tahu apa namanya. Hanya saja hambar memang sedang mendominasi.
Walau kadang rasanya masih terasa menyesakkan saat aku teringat atau terpancing
untuk mengingat masa lalu, tapi yang kurasakan tidak lebih dari suatu perasaan
aneh yang terdiri dari enam huruf itu. H-A-M-B-A-R.
Jika aku disuruh untuk
memilih antara posisiku yang penuh rasa sesak dan penyesalan atau posisiku
sekarang yang tak lebih dari rasa hambar, maka aku tidak tahu jawabannya. Lagi pula,
mereka—kedua posisi itu—sama saja. Sama-sama tidak kusuka.
©Burogu, 19/04/2012.