Rabu, 18 April 2012

Hambar


Malam ini seperti malam-malam bodohku yang lainnya. Mengurung diri di kamar. Makan di kamar. Belajar di kamar. Tidak berbicara. Bahkan jika memang memungkinkan aku hanya mengangguk dan menggeleng untuk berkata iya atau tidak. Beberapa lagu sempat aku putar. Sebenarnya lagu-lagu itu sudah terlalu sering kudengarkan. Bahkan aku sampai hapal dengan beberapa bagian liriknya.

Hambar. Semuanya belakangan ini memang terasa begitu. Setelah semua yang kulalui beberapa bulan terakhir ini, memang perlahan membawaku pada titik dimana aku tidak terlalu bisa merasakan apa-apa. Bahkan hal itu juga sering kali membuatku berdiri di posisi tidak peduli pada apapun. Aku tidak peduli pada agamaku sendiri. Aku tidak peduli pada diriku sendiri. Aku tidak peduli pada keluargaku. Aku tidak peduli pada sahabat dan teman-temanku. Aku juga tidak peduli pada orang yang kusukai sekalipun. Semua rasanya dimataku jadi gelap. Dan hal itu adalah posisi paling berbahaya dalam hidupku. Saat aku tidak mempedulikan apapun, otomatis aku pun tidak mempedulikan masa depanku. TIDAK! Itu tidak boleh terjadi. Aku harus bangkit.

Tapi bagaimana caranya? Aku limbung.  Entah karena apa. Apa mungkin karena aku pernah dipukul mundur berkali-kali oleh obsesi gilaku sendiri? Entahlah. Yang jelas, yang masih sangat kuingat dalam ingatanku. Aku pernah merasakan hari dimana udara terasa menyesakan. Semakin kuhirup semakin aku merasa sulit bernafas. Aku pernah merasakan bahwa pisau adalah mainan terbaikku. Bisa menusuk apapun yang ku mau. Aku pernah merasakan tidur yang tidak nyenyak selama berbulan-bulan. Bermimpi buruk.
Kadang aku bermimpi kembali ke masa lalu, lalu aku melihat semua kesalahanku. Ingin sekali rasanya aku memperbaiki semua kesalahan itu.

Di lain hari, aku juga bermimpi, bahwa aku sedang berkumpul bersama sahabat-sahabatku, tapi aku merasa ada satu orang yang hilang. Aku tidak tahu itu siapa. Aku terus menghitung dan mengulang dari awal sampai berkali-kali, masih tak kutemukan juga. Paginya aku terus memikirkan mimpi itu. Mungkin sebenarnya aku tahu siapa yang kucari di mimpi itu, dia adalah sosok yang belum lama hilang dan kini memusuhiku. SESAK. Lagi-lagi itu yang aku rasakan.

Atau, ada satu mimpi lagi yang paling aku benci dibandingkan dengan mimpi-mimpiku yang lainnya. Itu adalah sebuah mimpi yang sebenarnya mimpi indah tapi akan berubah saat aku terbangun. Contohnya saja, waktu itu, sekitar seminggu yang lalu, aku bermimpi bahwa kelasku dan kelas samping sedang mengikuti bimbingan pelajaran bersama. Sebenarnya mimpi ini bisa jadi biasa-biasa saja, tapi bukan itu yang terjadi. Di mimpi itu aku terlihat sangat akrab dengan seorang teman lama. Ya, teman lama. Kenapa aku menyebutnya begitu? Itu karena memang, kami mungkin sekarang sudah tidak berteman lagi. Jika ditanya mengapa hubungan pertemanan kami jadi begitu, jawabannya cuman satu. Karena kami putus. Ya, kami memang sempat punya hubungan lebih dari teman, tapi sekarang tidak lagi. Kami putus dengan pertengkaran. Dia, seseorang yang kusebut teman lamaku itu, menyukai orang lain. Seseorang yang lebih sempurna tentunya. Dan nasibku, hahaha, semuanya berubah menjadi lucu.

Agak menjijikan ya membaca curhatan tentang hal semacam ini? Jika iya, sebenarnya itu wajar saja. Apa lagi dengan semua ungkapan tadi aku terlihat sangat masih berharap ya? Benarkah itu? Aku juga tak tahu.

—Kembali ke mimpi tadi—
Ya, di mimpi itu aku terlihat sangat tanpa beban. Bercanda dan mengobrol dengan lepasnya. Bukan hanya itu, banyak sosok di kehidupan nyata yang aku harapkan baik padaku juga baik dimimpiku ini. Benar-benar menyenangkan ada di mimpi itu. Tapi, seperti yang aku bilang tadi. Saat aku terbangun, lain lagi ceritanya. Yang ada cuman rasa menyesal. Kenapa aku harus bangun dari mimpi itu? Kenapa mimpi lebih baik dari hidupku yang sekarang? Kenapa itu hanya mimpi? Lagi-lagi aku juga tidak tahu.

Miris. Ya, kata itu memang cocok digunakan untuk menggambarkan semuanya. Setelah fase dimana hidup sangat menyesakkan itu berlalu, yaa… di sinilah aku sekarang. Di fase baru yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Hanya saja hambar memang sedang mendominasi. Walau kadang rasanya masih terasa menyesakkan saat aku teringat atau terpancing untuk mengingat masa lalu, tapi yang kurasakan tidak lebih dari suatu perasaan aneh yang terdiri dari enam huruf itu. H-A-M-B-A-R.

Jika aku disuruh untuk memilih antara posisiku yang penuh rasa sesak dan penyesalan atau posisiku sekarang yang tak lebih dari rasa hambar, maka aku tidak tahu jawabannya. Lagi pula, mereka—kedua posisi itu—sama saja. Sama-sama tidak kusuka.



©Burogu, 19/04/2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar