Malam itu, seorang
anak kecil bermata legam menatap ibunya lalu bertanya.
“Bu, ayah udah nelpon belum?”
Ibunya hanya menggelang pelan.
Anak itu lalu cemberut sembaring mengucek matanya yang mulai mengantuk. Baru pukul 9 malam memang, tapi itu sudah cukup malam untuk bocah kelas 2 seperti dia.
Ia lalu berbaring sambil menatap langit-langit yang putih dan agak sedikit kotor. Kemudian ia mulai berkhayal. Entah khayalan apa yang ada di otaknya, tapi tampaknya khayalan itu terlalu asik dan membuatnya mulai tertidur.
Keesokan harinya, bocah itu kembali bertanya kepada ibunya
“Bu, kemaren ayah jadi nelpon nggak?”
“Jadi, tapi kamu-nya udah tidur”
“Terus kenapa nggak dibangunin aja?”
“Ibu, nggak tega dek”
“Emang ayah nelponnya jam berapa?”
“Jam setengah sepuluh”
Entah karena alasan yang tidak jelas, ada perasaan menyesakkan dan menyesal. Anak itu mulai menangis karena marah pada dirinya sendiri. Miris. Ya, memang begitu. Padahal hanya berbeda setengah jam dari waktu saat anak itu tertidur ya? Padahal anak itu hanya ingin mendengar suara ayahnya. Setidaknya hanya itu, tidak lebih.
Ibunya hanya menggelang pelan.
Anak itu lalu cemberut sembaring mengucek matanya yang mulai mengantuk. Baru pukul 9 malam memang, tapi itu sudah cukup malam untuk bocah kelas 2 seperti dia.
Ia lalu berbaring sambil menatap langit-langit yang putih dan agak sedikit kotor. Kemudian ia mulai berkhayal. Entah khayalan apa yang ada di otaknya, tapi tampaknya khayalan itu terlalu asik dan membuatnya mulai tertidur.
Keesokan harinya, bocah itu kembali bertanya kepada ibunya
“Bu, kemaren ayah jadi nelpon nggak?”
“Jadi, tapi kamu-nya udah tidur”
“Terus kenapa nggak dibangunin aja?”
“Ibu, nggak tega dek”
“Emang ayah nelponnya jam berapa?”
“Jam setengah sepuluh”
Entah karena alasan yang tidak jelas, ada perasaan menyesakkan dan menyesal. Anak itu mulai menangis karena marah pada dirinya sendiri. Miris. Ya, memang begitu. Padahal hanya berbeda setengah jam dari waktu saat anak itu tertidur ya? Padahal anak itu hanya ingin mendengar suara ayahnya. Setidaknya hanya itu, tidak lebih.
Ya.. ingatan tetang
hal itu masih melekat erat di memori saya. Tepatnya karena memang saya adalah Si
anak kecil bermata legam itu.
Entah kenapa,
tampaknya saya memang sudah sering marah pada diri saya sendiri sejak saya
kecil ya? Apakah itu memang sifat saya? Atau itu adalah kebiasaan buruk saya?
Entahlah…
Setidaknya, satu hal
yang sampai sekarang masih saya pegang sebagai pedoman adalah, jika memang kita
bisa menyalahkan diri sendiri untuk tidak menyalahkan orang lain, kenapa tidak?
Setidaknya dengan begitu orang lain tidak harus jengkel karena kita salahkan
bukan? Kita bisa menikmati kesalahan kita sendirian. Lalu jika memang belum
atau tidak bisa dimaafkan, maka kumpulkanlah dan pendam saja. Jika suatu hari
nanti kau butuh pemicu untuk menyesal,
maka kau punya pemicunya. Ya, itu tentu saja karena kau telah memendam dan
menyimpan amunisi kesalahan dari masa lampau yang bisa meledakanmu secara
sempurna. Membuatmu ingin menghilang secara sempurna. Tapi ini tidak saya
sarankan kepada kalian yang sangat pemaaf kepada diri anda sendiri. Sungguh,
betapa beruntung orang yang sangat pemaaf. Terutama kepada diri sendiri.
Sebuah sistem kerja
yang gila memang. Tapi saya sudah hidup dengan sistem kerja seperti ini sampai
sekarang. Bahkan mungkin sampai saya ada di masa depan nanti. Tapi saya tak
tahu juga, itu semua tergantung apakah saya bisa memaafkan diri saya sendiri
suatau hari nanti, atau mungkin saya tetap memilih menjadi pendendam bagi diri
sendiri. Setidaknya saya tidak mendemdam atas semua kesalahan kalian kan? Jadi
kalian semua tidak perlu kahwatir. Saya tidak akan sampai hati untuk marah kepada
kalian melebihi marah saya terhadap diri saya sendiri. Ya… begitulah sistem
kerjanya. Miris? Ya, terkadang…
©Burogu, 03/04/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar