Aku berharap aku bisa pergi bersamamu ke padang rumput yang hijau di
bukit. Kita berdua akan mendaki ke puncak lalu melihat langit biru di sana. Aku
akan memakai baju yang ringan agar saat angin bertiup kencang, tubuhku akan
seperti sedang berkibar. Akan kubiarkan rambut hitam panjangku terurai dan
disinari matahari yang hangat. Aku juga akan mengingatkanmu untuk memakai
topimu, agar saat topi itu terbang terbawa angin kita bisa saling berlomba
untuk menangkapnya. Aku akan membawa sekotak tisu untuk kita bermain. Kita akan
menerbangkan tisu-tisu itu ke langit bersama angin yang mengalir, sehingga
mereka akan tampak seperti kupu-kupu putih yang sedang terbang dan aku harap
kau akan tersenyum saat melihatnya. Aku ingin melihat senyuman hangatmu lagi,
walaupun jika memang itu akan menjadi yang terakhir kali untukku.
Pada akhirnya
aku hanya dapat melihat punggungmu yang terbalut jaket hitam menjauh menuruni
bukit. Tunggu! aku belum selesai. Ada sesuatu yang ingin kuucapkan. Tunggu!!
Saat aku mengejarmu aku justru tersungkur ke semak belukar dan membuat lututku
terluka. Kau terus berjalan menjauh tanpa sedikitpun melirik ke belakang.
Tunggu Sahab.. tunggu.. aku mulai menangis sambil menahan sakit dari lututku
dan entah ada rasa sakit lain tapi aku tak tahu jelas itu dimana. Perasaan
seperti mencekik dan membuatku sesak nafas. Kupukul-pukul kakiku yang berdarah
itu. Kenapa? kenapa harus disaat sepenting ini aku harus jatuh? Kenapa?
Kenapa disaat aku hendak mengucapkan “Selamat ulang tahun” padamu kau justru
pergi? Alasan yang konyol memang, tapi itu tetap membuatku menangis. Aku tahu,
pemandangan di bukit dan permainan tisuku itu terlalu konyol untukmu. Tapi aku
hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun padamu. Selamat ulang tahun Sahab.
Aku masih menunggumu di bukit dengan kakiku yang berdarah.
-Rea-
(repost from my second blog)
(repost from my second blog)
01 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar