Siang itu aku
sengaja berlari ke kelasmu dan yang kulihat hanyalah bangku-bangku yang kosong,
lalu aku kembali berlari dan melihatmu sedang berusaha memalingkan wajahmu
padaku. Berusaha berlari dariku. Kau menutupi sesuatu. Katakanlah Sahab !
katakanlah..
aku khawatir sekali waktu itu, aku takut sesuatu yang berat menimpamu dan kau tidak mau memberitahukannya padaku. Ternyata aku salah. Akulah yang ditimpa. Kau ucapkan dengan nadamu yang setengah menyesal bahwa kau tidak bisa melanjutkan hubunganmu denganku. Aku terdiam sesaat. Lalu rasa sesak mulai menjalar ke dadaku kemudian kekuatan di kakiku berangsur-angsur melunglai. Kutahan itu. Aku mengangguk menyetujui kemauanmu. Sebelum kau pergi aku tersenyum pahit untuk sesaat lalu kau meninggalkanku di tempat itu tanpa mengantarku pulang ke tempat awalku.
Betapa menyedihkan
aku saat itu, aku menangis bersama suara gemuruh hujan di atas atap. Berusaha
untuk sesaat mengambil nafas lagi tapi terlalu sesak. Aku terlalu merasa
menjadi perempuan sehingga aku harus menangis untuk laki-laki. Aku marah saat
itu. Marah sekali. Tapi aku tidak tahu karena apa. Sebelum aku tidur di malam
itu aku terus menangis dan merutuki diriku sendiri sampai akhirnya mataku lelah
lalu aku tertidur. Keesokan harinya aku terbangun lebih cepat, dan saat aku
terbangun aku teringat tentang kejadian itu. Aku berusaha mengingat apakah hal
kemarin merupakan mimpi buruk atau kenyataan yang sebenarnya jauh lebih buruk,
dan Tuhan memang telah memberi jalan bahwa hal itu bukan kebohongan. Ada rasa
sesak yang tak pernah kurasakan sebelumnya di saat bangun tidur. Aku sangat
berharap waktu itu hanya mimpi buruk, ataupun jika memang hal itu
kenyataan aku ingin terus tertidur. Karena saat itulah aku merasa dapat
beristirahat, karena hanya di saat itulah aku dapat melihat kegelapan tanpa
bayangan punggungmu yang semakin menjauh.
Hujan semalam
seperti telah membawakan kabar buruk, dan lewat Sahab lah kabar tersebut
datang. Berbulan-bulan aku masih terdiam di sudut ruangan gelap dimana kau
meninggalkanku. Menangis di sana seperti anak kecil. Beberapa waktu setelah itu
tesebar kabar berita bagus. TAPI TIDAK UNTUKKU. Sahab telah menjalin hubungan
dengan kaoru. BAGUS. ITU SANGAT BAGUS. Dan aku kembali menangis lagi di tempat
yang sama tanpa seorang pun menemani. Akhirnya aku lelah, yang bisa kuraih
hanyalah sebilah pisau berkarat yang kusayat-sayat dengan tanganku sendiri ke
tubuhku. SAKIT. BERDARAH, LALU LUKA ITU MEMBUSUK.
Perlahan kuputar
sekilas kenanganmu di benakku, aku tersenyum lalu menangis lagi. Kuingat
sejenak wajahmu yang murung, aku bersedih lalu aku menangis lagi. Ku ingat
sedikit kata-katamu, hatiku bergetar lalu menangis lagi. Tidak ada yang
merangkulku. Tidak ada memelukku. Aku hanya berusaha tersenyum ketika
teman-teman mimpiku menanyakan keadaanku. Lalu setelah mereka bertanya aku akan
menangis lagi. Kalian tahu ? pisau berkarat itu masih menancap di sini. Aku
tidak mungkin tidak apa-apa.
Suatu waktu aku
merasa sangat lelah. Aku pergi menjauhi mereka (Tj) untuk mencari tempat sepi.
Lalu aku menangis di sana. Aku malu jika aku harus menangis di depan mereka.
Aku malu mengakui bahwa aku lemah. Aku takut aku marah pada kalian hanya karena
kalian tidak dapat mengerti situasi dan selalu harus bertanya. Karena
pertanyaan kalian lah yang membuatku menangis ?
Terkadang aku juga
merasa sangat marah. Aku menodongkan pisauku kepada siapa saja. Aku berusaha
menyerang ke segala arah di dalam kegelapan, dan berharap bisa menusuk Sahab
atau Kaoru. Tapi kalian(Tj) lah yang ternyata berdiri di dekatku, sehingga aku
menyakiti kalian.
Akhirnya kusimpan
pisau itu untukku diriku sendiri sekarang. Biar saja kutusukkan pisau itu ke
ubun kepalaku sendiri, supaya kalian tidak ada yang terluka.
Aku trauma, dan aku butuh waktu lama untuk sembuh.
Bahkan sekarang pun aku masih belum sembuh, SEDIKITPUN.
27 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar